Sejarah Pulau Tagulandang

Ingin tahu Sejarah Pulau Tagulandang secara lengkap? Berikut dikutip dari blog Adrianus Kojongian.
Dinasti Jacobs(z) mulai berkuasa di bawah Raja Philips Jacobsz yang naik tahta menggantikan Cornelis Tamarol tahun 1792. Ia berasal dari Siau, dihadis sebagai cucu Raja Siau Daniel Jacobsz.

Ketika Kompeni Inggris (East India Company) berkuasa di Keresidenan Manado, Raja Jacobsz meneken kontrak dengan Kompeni Inggris 25 Maret 1812. Kemudian kontrak baru dengan pemerintah Hindia-Belanda yang menggantikan Kompeni Belanda 4 Agustus 1818.

Penggantinya di tahun 1820 adalah anaknya Johannis Philips Jacobsz yang meneken kontrak politik 12 April 1828. Berikut memerintah anak Johannis, yakni Frederik Philips Jacobsz.

Tahun 1825, Tagulandang yang berada sekitar 16 mil dari ibukota Manado, dicatat E.de Waal terdiri atas tiga negeri besar. Tagulandang di sebelah barat, tempat kedudukan raja, lalu Haas di timur dan Minanga di bagian utara.

Ibukotanya, negeri Tagulandang terbagi atas tiga kampung, yakni: Tagulandang, Malio-mara (Balahumara) dan Bakula (Bakulaihi). Sedang di wilayah jajahannya di Kepulauan Talaud, dicatat hanya satu negeri, yakni Pulutan di Pulau Karakelang yang dominan dimiliki kerajaan Tabukan. Itu pun, hanya setengah bagian Pulutan.

Kepemilikan Tagulandang atas Pulutan dicatat pula hanya separuh negeri dalam raport 5 Januari 1826 dari Gecommitteerde Arnoldus Johannes van Delden ketika berkunjung ke Karakelang (van Delden kelak Sekretaris dan pejabat Residen Manado).

Gunung utama Ruang atau Ruwang yang ditulisnya Duwang, sekitar satu jam sebelah barat Tagulandang, di pulau senama, terus-menerus mengeluarkan asap. Erupsi Gunung Ruang terakhir, terjadi tahun 1808, menghancurkan semua rumah, kebun dan pepohonan di sekitarnya, termasuk negeri tua Tagulandang. Meski tidak sampai jatuh korban jiwa.

Penduduk Tagulandang tahun 1825 itu sebanyak 1.132 orang, sekitar 300 laki-laki dan sisanya perempuan dan anak-anak.

Di bawah raja, rang dan titel para kepala, seperti di Siau dan kerajaan lain di Kepulauan Sangihe ketika itu, adalah President Raja, Jogugu yang terdiri 2 atau 3 orang, President Jogugu, Kapitein Laut 5 sampai 6 orang; Hukum Majoor 2 sampai 3 orang, Hukum 5 sampai 6 orang, Sadaha Negeri 1 orang, Kapitein Bicara 3 sampai 4 orang, Sangaji 3 sampai10 orang, Kimelaha 5 sampai 6 orang dan Sawuhi.

Selain kepala bobato, masih ada kepala dengan gelar Sahada Kecil 3 sampai 4 orang, Sabandar 1 sampai 2 orang, Jurubahasa 1 sampai 2 orang, Marinjo Bicara 3 sampai 4 orang, Marinjo Balla 3 sampai 4 orang, serta 3 sampai 14 Marinjo.

Kemudian ada pula perwira dan serdadu yang bertugas mengatasi pemberontakan atau mengejar bajak laut atau memimpin kegiatan sipil lain. Majoor 3 sampai 4 orang, Kapitein Majoor 1 orang, Kapitein Raja 2 sampai 3 orang, Kapitein Prang 6 sampai 8 orang; Kapitein 10 sampai 12 orang, Luitenant 10 sampai 12 orang, Afferissen 6 sampai 8 orang, Serjant-Majoor 3 sampai 4 orang, serta Korporal 4 sampai enam orang.

Tidak aneh, sebut de Waal, dalam beberapa negeri bisa ada 150 orang bobato.

Raja pun, memiliki sejumlah dayang terdiri gadis-gadis muda, putri orang kaya. Mereka bertugas menjaga jenasah ketika seseorang dari keluarga kerajaan meninggal.

Raja Tagulandang di tahun 1825 itu memiliki 30 pria dan wanita muda dari negeri yang bekerja untuknya setiap hari. Mereka berkewajiban memberi makan, dan dikenal sebagai budak negeri.

BENCANA RUANG
Tanggal 2 September 1854, putra Raja Frederik, yakni Lucas Jacobsz naik tahta Tagulandang. Di Manado, bersama mantrinya ia meneken kontrak baru dengan Belanda diwakili Residen Casparus Bosscher 12 November 1860.

Kontrak terdiri 27 artikel (pasal) mengatur hubungan dan kewajiban raja serta mantrinya. Klausal utama adalah Tagulandang sebagai milik Belanda dan dengan demikian mengakui Raja Belanda dan pemerintah Hindia-Belanda sebagai penguasa tertinggi. Karena itu pemerintah Hindia-Belanda berhak untuk memecat raja dan menunjuk penggantinya setelah berkonsultasi mantri (rijksgrooten) yang terdiri president raja, jogugu dan kapitein laut. Dalam hal kematian raja, Residen Manado harus segera diberitahu, dan pemerintahan sementara dipegang president raja menunggu penunjukan raja baru oleh gubernemen (pemerintah).

Penduduk Tagulandang pun terhitung sejak Januari 1861 harus membayar pajak sebesar 1 gulden tiap rumah tangga per tahun, yang dapat dibayar tunai atau diganti minyak, tripang, karet, kakao, kopi dan lain-lain. Untuk sementara waktu, besaran pajak Tagulandang ditetapkan seratus gulden yang harus dibawa raja secara pribadi ke Manado.

Sepersepuluh total pajak tersebut jadi insentif raja dan mantrinya. Dengan pembagian untuk raja 3/10, president raja 2/10, jogugu 1/10 dan kapitein laut 4/10.

Para mantri yang ikut bertanda (sesuai tulisan) adalah President Raja Dirk Jacobsz, President Jogugu K.S.Matheous, Kapitein Laut Ernst Mongonto, Hukum Majoor J.S.Jadoding dan Kapitein Bicara S.L.Ohonanmeng. Dua pejabat tidak terbaca namanya yakni jogugu dan kapitein laut lain.
Raja Lucas Jacobsz masih pula meneken kontrak 21 Juli 1864 dengan Residen Willem Christiaan Happe (baca Residen Manado 2 dan Tentang Residen Manado).

Masa memerintahnya, Johann Friedrich Kelling, Zendeling dari Gossnersch Zendingvereeniging (kemudian Sangi en Talauer-comite) asal Brandenburg Jerman tiba di Siau 15 Juli 1856, lalu mulai bekerja di Tagulandang. Ia bertugas hingga meninggal dunia di Tagulandang 13 Agustus 1900.

Tahun 1856 di Tagulandang terdapat tiga sekolah. Sekolah Gubernemen di negeri Tagulandang dengan 42 murid (tahun 1854 77 murid) dipimpin guru A.Mattheus. Sekolah Negeri di Haas dengan 19 murid dipimpin guru F.Mattheus (tahun 1854 70 murid), dan Sekolah Negeri (tweede school) di Minanga dengan 24 murid, dipimpin guru J.M.Lalongkang (tahun 1854 60 murid). Di tahun 1871, Sekolah Gubernemen di Tagulandang telah dipimpin guru J.Sondag (lalu J.Bawole). Sondag sendiri menggantikan S.Bawole. Sekolah Gubernemen Haas dengan guru J.Makasihi sejak 1866, dan Sekolah Gubernemen Minanga dipimpin guru S.Ponto sejak 1861.

Residen Manado Albert Jacques Frederic Jansen dalam raport 12 Agustus 1857 mencatat wilayah Tagulandang di Pulau Karakelang, yakni Pulutan terdiri atas negeri Dahan, Kalumu dan Bohonbaru.
Yang unik, para kepalanya memakai gelar raja. Negeri Pulutan bahkan dengan dua raja bernama Welembuntu dan Selehan, di bawah kuasa kerajaan Tagulandang. Sementara Siau juga mengangkat kepala di Pulutan dengan nama Raja Bohanbitu.

Negeri lain yang diklaim Tagulandang, yakni Dahan dengan raja bernama Sengade, dan negeri Nunu dengan raja bernama Paleto atau Papalapu. Sementara negeri Kalumu dipimpin seorang bergelar Kassielieratu.

Raja Lucas Jacobsz meninggal 3 Maret 1871 dengan tubuh tidak ditemukan ketika terjadi bencana alam berupa letusan gunung api di Pulau Ruang, yang menimbulkan terpaan ombak dahsyat (tsunami setinggi 14 depa); menyapu dan menghanyutkan seisi ibukotanya yang berlangsung malam hari sekitar pukul delapan. Tanda pertama dari aktivitas gunung tersebut dari pantauan Zendeling Kelling, sudah terdeteksi paruh akhir bulan Februari, meski kemudian tenang selama 14 hari.

Penduduk Tagulandang ketika kejadian sekitar 3.000 jiwa (tahun 1862 berjumlah 3.114), bermukim di tiga negeri besar Haas, Minanga dan Tagulandang, serta dua negeri kecil Mulingan dan Bulangan.
Negeri Tagulandang, ibukota, dengan sekitar 1.000 jiwa yang terdiri atas tiga kampung: Tagulandang, Bakulaihi dan Balahumara hancur. Selain raja dan beberapa kepala penting, total 416 orang kehilangan nyawanya dalam peristiwa tersebut. Korban terbanyak terjadi di kampung Tagulandang. Dari sekitar 500 penduduk, 277 orang tewas akibat tersapu tsunami.

Perkebunan dan tanaman penduduk pun rusak parah, termasuk banyak rumah penduduk. Bangunan gereja, juga sekolah dan rumah Zendeling Kelling ikut rusak, meski tidak sampai hancur karena berada di tempat ketinggian di ujung utara kampung.

Zendeling Kelling berjasa memimpin banyak upaya pertolongan ketika kejadian dengan dibantu 30 orang lainnya.

Mengisi kekosongan pemerintahan, setelah musyawarah, pada tanggal 1 April 1871 Jogugu Christijan (Christiaan) Mattheosz yang selamat dari bencana, ditunjuk menjadi pemangku fungsi raja. Musyawarah tersebut dihadiri Kontrolir F.S.A.de Clercq yang dikirim khusus oleh Residen Manado untuk melakukan inspeksi akibat kerusakan letusan Gunung Ruang.

Christijan Mattheosz kemudian dipilih sebagai raja 23 Januari 1875, dan dilantik Residen Manado Mr.Samuel Corneille Jan Wilhelm van Musschenbroek di Manado sebagai Raja Tagulandang dengan meneken acte van verband dan bevestiging tanggal 6 Agustus 1875. Beslitnya dari Residen Manado 7 Oktober 1874 nomor 154, dan peneguhan dari Gubernur Jenderal J.W.van Lansberge 24 Oktober 1876 bernomor 54.

Raja Christijan Mattheosz memerintah hingga tahun 1885. Ia digantikan oleh Raja Laurens Jacobs, dari dinasti Jacobs.

Namun, Raja Laurens Jacobs memerintah singkat sekali, karena meninggal dunia. Namanya tidak pernah tercatatkan di almanak resmi pemerintah Hindia-Belanda.Tapi disebut jelas pada akte konfirmasi dari Raja Salmon Bawole.

Salmon Bawole dipilih menggantikan Raja Laurens Jacobs yang meninggal. Pertama pada tanggal 24 November 1885 di Taruna (Tahuna) bersama mantrinya ia meneken kontrak politik. Kemudian pelantikannya di Tagulandang dengan acte van verband dan bevestiging 28 November 1885.
Untuk pertama kalinya, ia diberikan gelar kebesaran Paduka Raja. Raja Salmon Bawole baru diteguhkan dengan turunnya beslit dari Gubernur Jenderal Hindia-Belanda O. van Rees 6 September 1888.

Di kontrak 29 pasal dengan Residen Jhr.Johannes Cornelis Wilhelmus Adrianus van der Wijck 24 November 1885, yang juga telah melantiknya sebagai raja, Tagulandang kembali ditegaskan sebagai milik Belanda dan dipinjamkan kepada Salmon Bawole.

Total pajak Tagulandang masih tetap sama seperti kontrak 1860, yakni 100 gulden per tahun, dengan besaran 1 gulden tiap rumah tangga atau dipertukarkan barang produksi. Begitu pun persentase hasil pajak untuk raja dan mantri masih sama, meski tanpa jatah untuk jogugu.

Dengan kontrak tersebut, perdagangan budak pun dilarang secara resmi, termasuk mengimpor atau mengekspornya. Begitu pun dilarang melakukan pelecehan terhadap orang-orang bebas atau orang merdeka (bekas budak) dan anak-anak mereka.

Raja sendiri masih menerima upah dari pungutan zeepas, tapi, dibatasi pada variasi 5 sampai 12 gulden untuk jenis kapal kora-kora dan sopeh, serta 0,50 sampai 5 gulden untuk klas lloto (bloto), tombilang dan londeh. Dari penangkapan ikan, raja berhak mendapatkan sirip dari semua hiu yang ditangkap. Kemudian, sangat dilarang di kalangan penduduk untuk pergi memancing tripang di Pulau Pasige, karena menjadi milik raja. Izin dapat diberikan oleh raja pada pembayaran 10 sampai 12 gulden.

Penduduk pun harus memberikan raja setiap tahun dari setiap kebun satu gantang padi dan satu kula minyak. Raja berhak atas 25 orang pekerja pinontol per hari. Untuk president raja dibatasi 10 pria, jogugu 7 pria dan setiap kapitein laut 2 orang tiap harinya. Pekerja untuk raja wajib mendayung perahu ketika dia bepergian.

Di masa Raja Salmon Bawole, dengan keputusan Residen Manado Marinus Cornelis Emanuel Stakman dalam pertemuan dengan raja-raja Sangihe dan para kepala Talaud di Lirung 15 September 1889, daerah taklukan Tagulandang di Pulau Karakelang dibentuk sebagai satu distrik (Pulutan). Distriknya dibagi dua wilayah jogugu yakni Pulutan dan Lehang, dengan Jogugu Pulutan bertitel President, sementara kepala kampung seragam bertitel kapitein laut. Keputusan tersebut untuk mengakhiri pemakaian dan penjualan banyak gelar (disebut Residen Jansen harga pangkat) oleh para raja terhadap kepala-kepala di Talaud.

President Jogugu di Pulutan ketika itu adalah Sasohlok dan Jogugu Lehang bernama Ralendeng. Kejoguguan Pulutan mencakupi 4 kampung: Pulutan, Bawalanga, Bune dan Bawangbaru (Bowongbaru). Sementara kejoguguan Lehang terdiri kampung Lehang, Alumu dan Aloh.
Raja Salmon Bawole masih meneken tambahan kontrak 17 Oktober 1890 dengan Residen Stakman. Lalu 28 September 1894 dan 26 November 1899, masing-masing dengan Residen Eeltje Jelles Jellesma.

Dengan kontrak terakhir (meski resminya mulai berlaku 1895) penduduk Tagulandang berusia 18 tahun ke atas mesti membayar pajak rumah tangga yang juga disebut Hasil sebesar 2,50 gulden per tahun dan untuk penduduk di wilayah yang ada di Talaud 1 gulden.

Total pajak Tagulandang adalah 3.476 gulden di tahun 1895. Antaranya dari penduduk Pulutan 108 gulden dan Lehang 145 gulden.

Raja dan mantri tetap memperoleh sepersepuluh bagian pendapatannya. Persentase untuk raja 3/10, jogugu 2/10 dan kapitein laut 5/10.

Penduduk Landschap Tagulandang tahun 1900, sebanyak 6.000 jiwa, dengan 3.306 orang Kristen. Di Pulau Biaro, dihuni sekitar 700 penduduk, dipimpin kepala, seorang Kapitein Laut.

Raja Salmon Bawole kemudian minta berhenti. Permintaannya disetujui dengan beslit gubernemen Hindia-Belanda 28 April 1901 nomor 24.

Laurentius Manuel Tamara, terpilih bulan Agustus 1901 menggantikan Salmon Bawole. Ia dilantik di Tagulandang oleh Kontrolir Afdeeling Sangi-en Talauereilanden Hendrik Frederik Nikolaas Roskott mewakili Residen Manado, sebagai raja dengan meneken akte van verband tanggal 24 Maret 1902, dan memperoleh pengukuhan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda W.Rooseboom dengan beslit 12 Juni 1902 nomor 39. Gelarannya adalah Paduka Raja. Ia telah duduk sebagai anggota Landraad Manado sejak 7 April 1889.

Landschap Tagulandang dalam tambahan kontrak 3 Desember 1901 yang diteken Raja Laurentius Tamara terdiri Pulau Tagulandang, Dikai, Pasige, Ruwang, Biaro, Salangka, Seha, Sehakadio dan Tanungkeoang. Sementara di Kepulauan Talaud kejoguguan Pulutan dan Lehang, serta dua pelabuhan Tagulandang dan Minanga (seperti disebut dalam kontrak November 1899), dimana pengaturan pelabuhan, polisi pelabuhan dan hak untuk memungut bea pelabuhan diambilalih pemerintah kolonial.

Raja Laurentius Manuel Tamara meneken kontrak tambahan dengan Kontrolir Sangi-en Talaut- eilanden Cornelis Antoon Nieuwenhuijsen 30 November 1905. Penduduk di Tagulandang yang berusia 18 tahun ke atas tambah dibebani pajak sebesar 4 gulden, sementara di Talaud tetap 1 gulden per tahun.

Kenaikan pajak terhitung 1 Januari 1905, dari semula hanya 2,5 gulden itu, karena masing-masing wajib pinontol diharuskan membayar tambahan pajak berupa uang pokok sebesar 1 gulden per tahun yang disimpan oleh Kontrolir di Taruna. Kemudian pula uang kas (wangkas) 0,25 gulden yang disimpan kontrolir pula sebagai kas landschap (rijkkas). Dari sini kelak, raja dan mantri utamanya digaji.

Sebaliknya pelayanan pinontol untuk raja dan jogugu (tidak ada lagi president raja) dibatalkan. Terkecuali dalam pembangunan dan pemeliharaan rumah tinggal dari raja dan mantri, masih tetap dibantu oleh penduduk yang tidak dibayar. Juga dalam perjalanan dinas, mereka dibantu termasuk sebagai kuli dan pendayung dalam pekerjaan yang tidak dibayar. Hanya kapitein laut yang tetap memiliki sejumlah pinontol yang ditentukan banyaknya oleh Residen Manado. Jumlahnya juga tidak kurang dari 2 dan tidak lebih dari 5 orang tergantung banyaknya wajib pinontol dari kampung bersangkutan.

Total pajak Tagulandang di tahun 1906 adalah 6.982 gulden. Sangat memberatkan rakyat, meski tergolong paling sedikit dibanding kerajaan lain yang ada di Kepulauan Sangihe.
Raja Laurentius Tamara masih meneken korte verklaring (pernyataan singkat) uniform model 16 November 1910 bersama mantrinya.

Dengan deklarasi (verklaring) 15 Mei 1912 klaim dan wilayah Tagulandang yang berada di Kepulauan Talaud berakhir. Dua wilayahnya, Pulutan dan Lehang, diserahkan kepada pemerintah Hindia-Belanda yang kemudian memasukkan ke dalam kejoguguan Zuid Karakelang (Karakelang Selatan). Demikian pun dengan wilayah taklukan dari kerajaan Siau, Tabukan, Kandhar-Taruna dan Manganitu yang ada di Kepulauan Talaud. Semua wilayah tersebut kelak disatukan menjadi Landschap Kepulauan Talaud (Talaud-eilanden), dipimpin Dewan Jogugu (raad van djogoegoe atau landsgrooten) 27 Maret 1916, kemudian seorang Raja sejak 8 September 1921 ketika Julius Sario Tamawiwij dilantik menjadi Raja pulau-pulau Talaud dengan meneken akte van verband.
Seperti Raja Salmon, Raja Laurentius Manuel Tamara minta berhenti, dan disetujui gubernemen Hindia-Belanda 17 September 1912 dengan beslit nomor 23. Penggantinya adalah Cornelius Tamalero(h), yang sementara menjabat sebagai Jogugu Minanga.

Cornelius Tamalero (namanya sering ditulis pula Tamarelo) mulai memerintah Tagulandang sejak tanggal 1 November 1912 setelah meneken korte verklaring model seragam. Ia memperoleh pengukuhan dari Gubernur Jenderal A.F.W.Idenburg dengan beslit 1 April 1913 nomor 23. Gelarannya adalah Paduka Raja.

Di masanya, tanggal 29 Mei 1914 Gunung Ruang kembali meletus. Selain lava, melemparkan material batu dan debu. Akibatnya merusak hampir semua rumah di Tagulandang. Lebih seratus rumah dilaporkan roboh.

Raja Cornelius Tamalero mengikuti jejek dua raja yang digantikannya. Setelah 5 tahun memerintah, ia minta berhenti, dan disetujui bulan Februari 1917.

Raja Siau Anthonie Jafet Kansil Bogar ditunjuk Residen Manado sebagai pemangku sementara Raja Tagulandang. Meski yang resmi menjalankan pemerintahan sehari-hari di Tagulandang adalah Jogugu Johannis Manosoh.

Ketika meninggal 12 November 1918, Raja Kansil Bogar digantikan saudaranya A.D.Laihad, Jogugu Ulu yang juga memangku sementara posisi Raja Tagulandang. Ia menjabat hingga 7 Februari 1921 ketika digantikan Lodewijk Nicolaas Kansil, juga untuk sementara bertanggungjawab menjalankan fungsi Raja Tagulandang.

Setelah lebih lima tahun tanpa raja, Hendrik Philips Jacobs, keturunan dinasti Jacobs, dilantik menjadi Raja Tagulandang 8 Desember 1922 dengan meneken korte verklaring model seragam. Seperti raja-raja lain ia memperoleh gelaran khas Paduka Raja.

Ia memperoleh pengukuhan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda D.Fock 17 Juni 1923 nomor 12.
Raja Hendrik Philips Jacobs kelak merangkap sebagai pemangku sementara Raja Siau April 1929 hingga 16 September 1930, setelah pengasingan Raja Lodewijk Nicolaas Kansil untuk masa empat tahun di Parigi Sulawesi Tengah. Raja Hendrik Philips Jacobs terkenal ketika itu karena menjadi salah satu dari 3 anggota Majelis Adat (Adat-rechtbank) yang tahun 1929 menyidangkan perkara Raja Kansil bersama Raja Kandhar-Taruna Christiaan Ponto dan Raja Tabukan Willem Alexander Sarapil (baca pula Tiga Raja Sangihe dan Resident Schmidt).

Raja telah memperoleh gaji dari uang kas onderafdeeling sebesar 350 gulden per bulan (dikorting 17 persen). Masih ditambah tunjangan untuk biaya perjalanan dan akomodasi. Selain raja, Jogugu Minanga memperoleh gaji termasuk ongkos perjalanan dan akomodasi.

Di Tagulandang tidak ada lagi jabatan mantri, selain satu jogugu tersebut. Kepala kampung yakni kapitein laut tetap memperoleh upah dari tagihan pajak.

Sejak tahun 1921 Zendeling Tagulandang adalah W.Grau dari Sangi en Talauer-comite. Tanggal 7 Oktober 1924 ia hilang di laut dalam perjalanan ke Pulau Biaro bersama Penolong Injil Tiendas berasal Tomohon.

Tanggal 25 Agustus 1930 untuk jasa pengabdiannya, Raja Hendrik Jacobs menerima penghargaan bintang emas kecil (kleine gouden ster) voor trouw en verdienste.

Masanya, sejak awal 1930-an di Tagulandang berkembang pergerakan kebangsaan yang berhembus dari Siau, di bawah Gustaf Ernest Dauhan dengan PNI kemudian Partai Indonesia (PI atau Partindo). Melalui berkala ‘Pertimbangan’ yang dipimpinnya, Dauhan bersengketa dengan Raja Tagulandang yang menolak keberadaan Partindo di Tagulandang.

Persoalan kemudian berbuntut hingga ke pengadilan. Dengan tuduhan menghasut dan menghina raja, Dauhan pada Mei 1934 sampai dihukum penjara satu tahun oleh pengadilan kolonial.
Raja Hendrik Philips Jacobs berhenti atas permintaan sendiri awal bulan Maret 1936. Anaknya Willem Philips Jacobs menggantikannya. Namun, posisinya sebagai akting (waarnemend) raja atau regent atau wakil raja.

Kebijakan pertama pejabat raja baru di awal tahun 1939 adalah melarang lewat ‘titah raja’ lebih sepuluh ribu penduduknya mengkonsumsi gula dan teh, karena pertimbangan penghematan.
Kue kering pun ditabukan apabila disiapkan dari tepung. Disarankan pada perayaan pesta oleh penduduk cukup dengan menyediakan lemper dan sejenisnya, sementara untuk ulang tahun sekedar minum. Menu pokok yang diresepkan adalah kiha.

Kondisi ekonomi Tagulandang saat itu memang parah, setelah beberapa tahun terakhir harga kopra anjlok hingga tingkat terendah. Sementara penduduk dituntut harus membayar pajak.

Tapi, justru banyak suratkabar di Batavia (Jakarta) mengkritik kebijakannya secara pedas. Pejabat raja disebut terlalu khawatir dan bertindak demikian untuk lancarnya pemasukan pajak dari penduduk. Sementara di seluruh tanah jajahan ketika itu tengah gencar dianjurkan penduduk untuk lebih banyak mengkonsumsi gula dan teh.

Penduduk Landschap Tagulandang dicatat Ensiklopedia Hindia-Belanda 1939 sebanyak 10.967 pribumi, 433 Cina, 1 timur asing (vreemde oosterling), total 11.401 jiwa. Di Pulau Biaro, terdapat tiga kampung, yakni Biaro, Karungo dan Buang, sementara pulau vulkanik Ruang tidak berpenghuni. Begitu pun dengan Pulau Pasige, tapi sering didatangi nelayan yang mengambil tripang. Ruas jalan hanya dua di Pulau Tagulandang. Satu di sepanjang pantai, dan satunya di seberang, dari Minanga-Boweleu-Tagulandang. Jalan pesisir antara Tagulandang dan Haas lumayan untuk kendaraan.

Wakil Raja Willem Philips Jacobs ditahan Jepang bersama raja-raja lain dituduh pro-Belanda dan dipancung di Tahuna 19 Januari 1945. Meski ada versi lain pula terjadi 7 Juli 1942, atau juga 9 November 1944. Ikut dibunuh Jepang adalah jogugunya B.L.P.Jacobs (baca juga: Misteri Kematian Raja-raja dan Tokoh Satal).

Paul Adriaan Tiendas, anak Penolong Injil Tiendas, diangkat Jepang menjadi Syutjo (raja) 1944. Kemudian pemerintahan Tagulandang dijalankan Jogugu Hermanus Obed Hamel 1946.

Belum ada Komentar untuk "Sejarah Pulau Tagulandang"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel